DEKLARASI DJUANDA 1957 SEBAGAI AWAL DIMULAINYA BABAK BARU KEMARITIMAN INDONESIA
Deklarasi
Djuanda merupakan landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi
nasional Indonesia sebagai negara maritim yang telah diakui dunia
internasional. Seperti telah kita ketahui bersama, Deklarasi Djuanda dan UNCLOS
1982 tentu tidak lepas dari sosok Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang merupakan salah
satu diplomat ulung Indonesia yang mampu mengemban amanat Deklarasi Djuanda 13
Desember 1957 menjadi sebuah hukum laut internasional, dimana Indonesia diakui
sebagai negara kepulauan dengan batas terluar dari daratan hingga 200 mil laut.
Sebagai negara dengan total garis pantai (99.093 km) terpanjang kedua didunia
setelah Kanada. Suatu anugrah yang sangat langka yang mungkin hanya
dianugrahkan Allah SWT kepada Indonesia, adalah posisinya sebagai sumbu jalur
pelayaran dan perdagangan dunia. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros
Maritim Dunia (PMD) 2045 yang telah menjadi harapan, tumpuan, dan cita-cita
kita bersama bukan hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan bersama. Dimana hal
tersebut tidak terlepas dari jati diri yang melekat pada bangsa Indonesia
sebagai bangsa maritum. Hal itulah yang jauh-jauh hari telah diwacanakan dan
digagas oleh Presiden perama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Sukarno sebagai Founding
Father menyadari betul pentingnya geographical awarnes yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia.
LATAR
BELAKANG TERBENTUKNYA DEKLARASI DJUANDA
Gagasan
tersebut diwujudkannya melalui Perdana Mentri Djuanda Kartawidjadja, yang telah
berhasil menelurkan sebuah deklarasi, yang kemudian terkenal dengan deklarasi
Djuanda 1957. Pada saat diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri
dalam Kabinet Karya, Ir. Djuanda melakukan terobosan besar dalam upanya
mengintegrasikan seluruh wilayah kepulauan dan laut yang menjadi wilayah
territorial Indonesia yaitu dengan mencanangkan Deklarasi Djuanda pada tanggal
13 Desember 1957, yang berbunyi;
“Segala
perairan disekeliling dan diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia”.
Pernyataan
ini dibacakan dalam sidang Kabinet oleh Perdana Menteri Djuanda sebagai
landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang Undang yang nantinya
dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen
Ordonantie tahun 1939, terutama pasal 1 ayat 1 yang menyatakan
wilayah territorial Indonesia hanya 3 mill diukur dari garis air rendah setiap
palung.
Hal
ini mengakibatkan wilayah perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi
kantung-kantung internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar, dan
waktu itu banyak kapal-kapal perang Belanda yang melintasi laut-laut dalam kita
menuju Irian Barat dengan memanfaatkan hukum territorial laut tahun 1939.
Itulah
yang selanjutnya dikritisi dan dibantah oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal dalam
disertasinya. Hasjim merupakan diplomat ulung dari Indonesia yang telah berjasa
dalam merumuskan dan memperjuangkan United Nations Convention on the Law
of The Sea (UNCLOS). Disertasinya yang berjudul The
Limits of Territorial Waters in International Law, dimana teori
pokoknya adalah membantah pandangan Belanda yang mengatakan batas teritorial
itu hanya 3 mil.
Hasjim
menyebutkan teori pokok 3 mil itu hanya dikarang oleh orang Belanda yang
namanya Hugo de Groots atau dalam hukum internasioanl dunia dikenal dengan Grotius.
Orang
Belanda tersebut mengatakan “batas teritorial adalah sejauh meriam bisa
menembak dari bibir pantai”. Hasjim juga mengatakan bahwa pada saat itu memang
tembakan meriam 3 mil merupakan yang paling jauh sehingga itu adalah karangan
orang Belanda.
Kesuksesan
Deklarasi Djuanda yang sangat penting ini tidak terlepas dari peran Mochtar
Kusumaatmadja yang pada saat itu adalah anggota panitia rancangan Undang-undang
(RUU) Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim. Ketika RUU sedang dalam proses
penyelesaian dengan menetapkan wilayah laut territorial Indonesia adalah 12 mil
dari garis air rendah.
Bulan
oktober 1957, menteri Chaerul Saleh mengatakan bahwa RUU tersebut tidak banyak
berguna untuk menutup Laut Jawa dari pelayaran kapal-kapal asing terutama kapal
perang Belanda. Mochtar kemudian menyusun draft deklarasi Djuanda atas seizin
Letkol Laut Pirngadi, ketua Panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim
dan juga Kepala Staff Operasi Angkatan Laut.”
Pada
tanggal 13 Desember 1957, panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim
dipanggil PM. Djuanda di Pejambon, Jakarta. Letkol Pirngadi dan Mochtar
Kusumatmadja kemudian dipersilahkan menjelaskan peta Indonesia yang sudah
menggunakan konsep laut “antara” sebagai wilayah territorial Indonesia bukan
hanya 3 mil atau 12 mil dari garis air rendah. Hasil rapat kabinet
kemudian memutuskan konsep yang selanjutnya kita kenal dengan deklarasi
Djuanda. Dengan demikian wilayah laut kita dihitung 12 mil yang kemudian
selanjutnya mendapatkan ZEE 200 mil dan batas Landas Kontinen.
Meskipun
Deklarasi Djuanda belum diakui secara internasional, namun oleh pemerintah RI,
Deklarasi ini diundangkan melalui keputusan Undang-Undang/ Prp No. 4/1960,
bulan Februari 1960. UU ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden no. 103/1963
yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan
laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan Laut RI.
Semenjak
saat itu, laut yang dulunya dinilai sebagai pemisah saat itu juga berubah
menjadi pemersatu bangsa dan sekaligus sebagai wahana bagi pembangunan dan
pertahanan nasional.
PROSES
PENGAKUAN INTERNASIONAL DEKLARASI DJUANDA
Pada
tahun 1957-1958 ide Deklarasi Djuanda itu digulirkan belum mendapat dukungan
sama sekali, bahkan sampai konferensi hukum laut yang kedua tahun 1960 orang
asing masih banyak yang bertanya, “you mengatakan negara kepulauan, apa sih
artinya? Yang mana pulau yang you punya? Batasnya di mana? Ikannya punya
siapa?”.
Saat
konferensi tahun 1960 tersebut, Hasjim Djalal yang saat itu telah menjadi diplomat
perwakilan dari Indonesia, mereka menarik diplomasi Deklarasi Djuanda, bukan
dalam artian menggagalkan deklarasi, melainkan mereka memilih menerapkannya
didalam negri terlebih dahulu menghindari kritik dari dunia internasional
sambil mereka menyiapkan landasan hukumnya di dalam negeri, yakni dengan
membuat UU No 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia yang langsung diprotes
orang-orang asing, namun UU tersebut digunakan untuk keperluan dalam negeri.
Kemudian
pada konferensi PBB ke-3, tentang hukum laut yang dimulai pada bulan Desember
1973, atau tepatnya 16 tahun setelah Deklarasi Djuanda dideklarasikan. Setelah
melalui berbagai persiapan beberapa tahun sebelumnya, maka Indonesia sudah
merasa confident untuk
memperjuangkan kembali konsep kesatuan kewilayahan nasional yang tidak hanya
seputar kelautan, melainkan juga meliputi wilayah darat, laut dan udara dan
seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Konsep
ini kemudian diakui dalam konvensi Hukum laut PBB di Montego Bay (Jamaika) pada
tanggal 10 Desember 1982. Akhirnya setelah 25 tahun menunggu Deklarasi Djuanda
telah diakui oleh PBB, yakni dengan disahkannya UNCLOS III 1982, namun baru
diakui secara internasional sejak 16 Nopember 1994, setelah 60 negara
meratifikasinya. Hal ini berarti butuh waktu 37 tahun sejak Deklarasi Djuanda
Kesatuan Kewilayahan Indonesia diakui oleh dunia Internasional.
INDONESIA
MENUJU POROS MARITIM DUNIA (PMD) 2045
Kini
sudah lebih dari 130 negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Hasjim Djalal
menuturkan terkait lamanya proses diplomasi tersebut, pertama, mereka
melaksanakan isi dari Deklarasi tersebut di dalam negeri, dimana kita tahu
bahwa pada saat itu kritik masih membanjir, sehingga supaya tidak menarik
kembali diplomasi, mereka memilih menggunakannya didalam negri untuk dipatuhi.
Dimana setelah UU 4/Prp/1960 ada beberapa peraturan lagi yang dibuat kemudian,
terkait konsistensi diplomasi tersebut.
Kedua, mereka melakukan
konsultasi (negosiasi) dengan negara-negara yang
keberatan agar mereka tidak ada alasan lagi untuk menolak. Dimana keberatan
mereka terkait dengan hak lewat, maka diadakan negosiasi-negosiasi dengan
Amerika, Australia, Jepang, dan sebagainya.
Dengan
ambisi pasangan presiden Jokowi-Jusuf Kala yang ingin menjadikan Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) 2045, bukan hanya sekedar semangat isapan
jempol. Bukti keberpihakan dan aksi nyata dari pemerintah, salah satunya adalah
dibentuknya kementrian kondinator kemaritiman dengan tugas utamanya membantu
Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan kebijakan serta
mensinkronkan pelaksanaan kebijakan di bidang kemaritima. Selain itu,
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kala terus membenahi dan mengejar ketertinggalannya
pada sektor kemaritiman, yang salah satu program nawacita Presiden adalah
dibangunnya Tol Laut, yang fokusnya untuk menyatukan seluruh daerah Indonesia
dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia, jadi pembangunnya merata
diseluruh Indonesia, bukan jawa sentris melainkan “Indonesia Sentris”.
Perjuangan
mewujudkan dan mempertahankan kelautan Indonesia membutuhkkan waktu yang cukup
panjang, sekitar 43 tahun sejak dideklarasikannya Deklarasi Djuanda, melibatkan
seluruh Kepala Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang secara aktif
telah memberikan sumbangannya masing-masing.
Labels:
Nasional